Berita

FITRA: Telkom Berpotensi Jadi BUMN Terkorup – hukumonline.com

Platform belajar hukum terbaik secara online dengan materi dan pengajar yang berkualitas
Analisis komprehensif bilingual peraturan perundang-undangan dan isu hukum terkini
Solusi hukum dari para Advokat berpengalaman
Solusi pengelolaan dokumen perusahaan dalam satu platform terintegrasi
Layanan publikasi bagi komunitas hukum melalui konten atau akvitasi sesuai dengan kebutuhan Anda
Pemeringkatan dan penghargaan berbasis survei dan data bagi komunitas hukum di Indonesia
Informasi mengenai seminar, diskusi, dan pelatihan tentang berbagai isu hukum terkini
Artikel premium komprehensif untuk referensi praktis para profesional hukum
Koleksi peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang sistematis serta terintegrasi
Coming Soon
Coming Soon
Analisis komprehensif isu hukum terkini secara bilingual dan terintegrasi dengan pusat data
Platform belajar hukum tanpa batasan ruang dan waktu, tersedia sertifikat setelah kursus selesai
Platform pemantauan kepatuhan hukum terintegrasi dan berbasis teknologi Artificial Intelligence
Potensi penyimpangan anggaran yang merugikan negara oleh PT Telkom mencapai Rp12 miliar dan US$130,26 juta.
Seknas Forum Indonesia untuk Transportasi Anggaran (FITRA) mengindikasikan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk sebagai BUMN terkorup di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hal ini disampaikan Kordinator Investigasi dan Advokasi Seknas FITRA Uchok Sky Khadafi dalam keterangan tertulis, Senin (16/7).

Penilaian FITRA berdasarkan hasil audit BPK tahun 2005-2011, yang menyatakan 24 BUMN berpotensi sebagai lembaga negara yang korup. “Dari 24 perusahaan BUMN, perusahaan yang paling tinggi potensi korupnya adalah PT Telekomunikasi Indonesia,” kata Uchok.

Menurutnya, potensi penyimpangan anggaran yang merugikan negara oleh PT Telekomunikasi Indonesia mencapai Rp12 miliar dan US$130,26 juta. Setelah Telkom, PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) dengan nilai kerugian negara sebesar Rp904 miliar, PT Jasa Marga (Persero) Tbk dengan nilai kerugian negara sebesar Rp605 miliar, PT Bahana PUI (Persero) dengan nilai kerugian negara sebesar Rp237 miliar dan USD39,56 juta.

Kemudian, PT PLN (Persero) dengan nilai kerugian negara sebesar Rp556 miliar, PT PP (Persero) Tbk dengan indikasi kerugian negara Rp330,68 miliar, PT Hutama Karya (Persero) Rp300,65 miliar dan USD940 ribu, PT Pertamina (Persero) USD32,49 juta, PT Danareksa (Persero) USD28,1 juta, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) Rp154,4 miliar dan USD12,7 juta.

Lalu, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk dengan potensi kerugian negara sebesar Rp129,07 miliar dan USD11,5 juta, PT PPA (Persero) sebesar USD25 juta, PT Taspen (Persero) sebesar USD165,7 miliar, PT Nindya Karya (Persero) sebesar Rp144,22 miliar, PT Adhi Karya (Persero) Tbk sebesar Rp130,43 miliar, PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero) sebesar Rp125,9 miliar, Perum Bulog sebesar Rp117,1 miliar.

Selain itu, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) sebesar USD12,7 juta, PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebesar Rp110,8 miliar, PT Industri Kapal Indonesia (Persero) sebesar USD12,2 juta, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk sebesar USD11,5 juta, Perum Perhutani sebesar Rp88,86 miliar dan USD758.610, PT Asuransi Jiwasraya (Persero) Rp90,49 miliar dan USD6.190, PT PANN Multi Finance (Persero) sebesar USD4,6 juta.

Menurut Uchok, ada beberapa hal yang mendasari kerugian negara ini yaitu kelemahan sistem pengendalian intern yang terbagi menjadi tiga, yaitu sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan, di mana pencatatannya tidak akurat dan proses penyusunan laporan tidak sesuai ketentuan.

source

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button