Ketika Njoto dan Musso Dikekang Universitas Telkom – KBR
“Buku adalah tonggak peradaban. Kami menilai apa yang dilakukan rektorat, tindakan yang sangat fatal.”
Tiga mahasiswa Universitas Telkom Bandung; Lazuardi Adnan Faris (kiri), Sinatrian Lintang Raharjo (tengah), Fidocia Wima Adityawarman (kiri). Foto: Komite Rakyat Peduli Literasi.
Jumat, 21 April 2017
KBR, Jakarta – “Saya Sinatrian Lintang Raharjo, kuliah Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi dan Bisnis, Universitas Telkom. Saat ini, saya sedang diskorsing gara-gara lapak buku yang ada buku kirinya dan melakukan aksi massa,” beber Lintang pada KBR.
Buku yang dimaksud Lintang adalah Manifesto Partai Komunis yang ditulis Karl Marx dan Friedrich Engels, serta dua buku terbitan Tempo, yakni Buku Edisi Orang Kiri Indonesia: Njoto – Peniup Saksofon di Tengah Prahara dan Musso – Si Merah di Simpang Republik.
Buku-buku itu adalah koleksi Perpustakaan Apresiasi yang biasa digelar di selasar Dekanat –yang bersebelahan dengan ruang kelas dan kantin kampus. Perpustakaan bikinan mahasiswa ini sudah ada sejak 2014. Wujudnya pun tak mewah, hanya lapak beralas baner bekas. Dan, selama itu pula tak ada masalah dengan kampus.
“Sekitar 50 sampai 70 buku yang kami punya. Sebenarnya ada tiga yang dianggap kiri. Buku tentang Njoto sama Musso dan Manisfesto Partai Komunis,” terang mahasiswa angkatan 2012 ini.
Tapi 9 November 2016, jadi musibah bagi pemuda berusia 22 tahun tersebut –yang ikut mengelola perpustakaan. Kala Wakil Rektor IV, Yahya Arwiyah, lewat di depan lapak gratis mereka.
Warek IV, cerita Lintang, kemudian menghampirinya, Fidocia Wima, dan satu temannya. Di situ, Warek IV bertanya tentang kegiatan mereka dan siapa yang memberi izin membuka lapak. “Warek sampai marah. Akhirnya perpustakaan kita bubarkan.”
Itu hari, ada tiga buku dirampas –semuanya yang dianggap berbau komunis. Warek IV berdalih buku-buku itu dilarang beredar di Universitas Telkom.
“Buku ini nggak boleh ada di kampus. Buku komunis ini dilarang. Pokoknya nggak boleh. Saya Warek IV, saya yang bikin aturan,”
Penyitaan buku oleh Warek IV, rupanya menyulut solidaritas mahasiswa Universitas Telkom dan aktivis literasi Bandung. Pertengahan November 2016, aksi demonstrasi itu dipimpin Lazuardi Adnan Faris. Namun, buntut penyitaan buku dan demonstrasi malah membuat ketiganya, Sinatrian Lintang Raharjo, Fidocia Wima Adityawarman, dan Lazuardi Adnan Faris disidang etik. Ketiganya dipanggil satu persatu, dengan waktu yang berbeda-beda.
Sidang etik Lintang digelar November tahun lalu. Sementara Faris sebulan setelahnya. Sedang Edo, baru dipanggil Januari 2017. Saat sidang etik, kata Edo, delapan orang dari pihak kampus mempertanyakan kegiatsan mereka.
“Saat itu nggak ngomong skorsing sama sekali. Cuma ditanyain kronologis. Motifnya apa. Tujuannya perpustakaan ini apa. Orangnya ada berapa. Karena ada posternya, siapa yang bikin ini,” ucap Edo.
Hingga akhirnya, keluarlah Surat Keputusan skorsing untuk ketiganya pada 20 Februari lalu. Edo dan Lintang diskorsing karena membuka lapak buku berbau kiri di sekitar kampus. Sementara, Faris diskorsing karena memimpin aksi demo di kampus dan mencemarkan nama baik kampus.
“Tuduhanku berbeda dengan dua kawan tadi. Pertama memutarbalikan fakta, kedua melakukam ujuk rasa dengan unsur kebencian, dan terakhir memimpin rapat dengan pihak luar,” jelas Faris.
Lama skorsing ketiganya berbeda-beda. Edo dan Faris diskorsing dari 16 Januari hingga 16 Maret. Sedang Lintang sejak 16 Januari hingga 18 Mei mendatang. Sial, kata Lintang, karena kampus enggan menjelaskan alasan kenapa sanksi untuknya lebih berat.
“Sebenarnya nggak dijelasin ketika mempertanyakan (skorsing 6 bulan). Saya nggak tahu masalahnya apa. Mungkin pembawaan saya nggak jelas, makanya dilama-lamain,” jawab Lintang sembari tertawa.
Sementara itu, Juru Bicara Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah Putra, berdalih skorsing dijatuhkan sesuai dengan tingkat pelanggaran ketiganya. Lagipula, menurutnya, lapak buku yang digelar Perpustakaan Apresiasi bukan bagian dari literasi.
“Aktivitas mereka itu kami anggap sebagai pelanggaran. Karena tidak mengindahkan regulasi. Contohnya menjaga kebersihan, tidak membuat gaduh, tidak membuat isu yang kiranya itu adalah muatan hasutan, ujaran kebencian kepada pimpinan,”
Penjatuhan skorsing terhadap tiga mahasiswa Universitas Telkom, belakangan diadukan ke Komnas HAM. Lembaga itu pun berjanji bakal memediasi persoalan ini dengan pihak kampus.
Aksi solidaritas untuk tiga mahasiswa Universitas Telkom, Bandung. (Foto: Lazuardi Adnan Faris)
Tiga mahasiswa Universitas Telkom di Bandung; Sinatrian Lintang Raharjo, Fidocia Wima Adityawarman, dan Lazuardi Adnan Faris dijatuhkan skorsing. Dasarnya karena Lintang dan Fidocia Waima Adityawarman atau Edo, membuka lapak buku berbau kiri di sekitar kampus. Buku itu adalah Manifesto Partai Komunis yang ditulis Karl Marx dan Friedrich Engels, serta dua buku terbitan Tempo, yakni Buku Edisi Orang Kiri Indonesia: Njoto – Peniup Saksofon di Tengah Prahara dan Musso – Si Merah di Simpang Republik.
Sedang Lazuardi Adnan Faris diskorsing karena memimpin aksi demonstrasi di kampus dan mencemarkan nama baik kampus. Tapi, lama skorsing antara ketiganya, berbeda-beda. Lintang enam bulan –sejak 16 Januari hingga 18 Mei mendatang. Sementara skorsing terhadap Edo dan Faris, berakhir 16 Maret lalu.
Saat ini Edo sudah bisa mendaftar sidang S1. Sedang Faris, nilai serta absensinya sudah dipulihkan. Namun sial, karena pihak kampus tak juga mencabut Surat Keputusan (SK) skorsing ketiganya. Padahal, kata Faris, SK skorsing, seperti catatan “kriminal” bagi mahasiswa.
“Jadi SK yang sudah keluar baru dua, aku sama Edo. Karena sudah selesai menjalani skorsing,” ujar Faris.
Dan demi mencabut SK itu, mereka kembali menghadap Warek IV, Yahya Arwiyah. Tapi boro-boro SK dicabut, mereka justru diminta menandatangani surat pernyataan tidak mengulang hal serupa. Mereka pun diminta untuk tidak menyebarkan persoalan tersebut ke media. Lintang dan Edo menerima permintaan itu, sedang Faris menolak.
“Pihak kemahasiswaan menawarkan membuat surat di atas materai 6000 untuk tidak membawa permasalahan ini ke media manapun. Ayah saya pesan ‘mengalah untuk menang’. Oke, saya sedikit melunak. Saya tanya balik, ‘Apakah ketika menandatangni surat tersebut kasus saya diputihkan dan dikembalikan?’. Jawaban kampus, ‘Ohh.. belum tentu, itu tergantung pimpinan’. Wah itu jebakan batman,”
Dukungan pada Lintang, Edo, dan Faris terus bergulir. Di Gedung Indonesia Menggugat di Bandung pada pertengahan Maret lalu, puluhan orang menggelar aksi solidaritas. Juru Bicara dari Solidaritas Rakyat Untuk Demokrasi, Bara Malik Annasir, mengatakan apa yang dilakukan kampus dengan menyita buku adalah tindakan tak peduli literasi.
“Soal buku adalah soal demokrasi. Buku adalah tonggak peradaban. Kami menilai apa yang dilakukan rektorat, tindakan yang sangat fatal. Makanya logis kalau konsekuensinya harus turun dari jabatan,” terang Bara.
Tak hanya aksi solidaritas sesama aktivis, Lintang, Edo, dan Faris sampai mengadukan masalah ini ke Komnas HAM, 10 April lalu. Dalam pertemuan tersebut, Komnas HAM akan memediasi pihak kampus, untuk mencabut SK skorsing mereka.
Sementara itu, diskusi mengenai komunisme di Universitas Telkom masih tertutup. “Aku sering bertemu kawan-kawan setelah kasus ini naik. Mereka tertawa saja melihat persoalan ini. Buku itu seperti pisau untuk mengiris dan membunuh. Ada tidak orang yang membaca buku kiri dan menyebut komunis. Ini bukan suatu keanehan, bukan tabu,” tegas Faris.
Malah, dalam sebuah mediasi dengan pihak kampus, rektorat dan Yayasan Pendidikan Telpom YPT menawarkan pembentukan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Perpustakaan Apresiasi. Dengan catatan, kata Juru Bicara Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah Putra, kegiatan itu akan didampingi satu dosen pembimbing.
“Kami ingin mendidik anak-anak kami dengan teknologi, ekonomi, art. Kalau ada kepentingan di luar itu, kami tidak menghalang-halangi tapi kami punya prosedur yang jelas. Kalau prosedur itu dilanggar, maka kami akan mengeluarkan keputusan. Apakah itu sanksi atau teguran,”
Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid menyebut ketakutan bangkitnya komunis tak bisa dijadikan dasar penyitaan buku.
“Kalau soal penyitaan dasarnya apa. Dasar hukumnya apa. Menurut saya itu berlebihan. Itu partai sudah mati 50 tahun lalu dan tidak ada kemungkinan dua generasi sebuah organisasi politik itu bisa survive,” kata Hilmar tegas.
Kembali ke Lintang. Ia masih heran, mengapa buku-buku itu menjadi ancaman. Toh, semua buku-buku itu resmi diterbitkan. “Saya membela bahwa ini buku sejarah. Kita cuma menyediakan buku yang legal dan resmi juga diterbitkan di mana saja,” terang Lintang.
Reporter: | Eli Kamilah |
Editor: | Quinawati |