Prestasi

Saat Kampus Memburu Akreditasi Internasional dan Rangking Global Halaman all – KOMPAS.com

Saat Kampus Memburu Akreditasi Internasional dan Rangking Global

Anggun Gunawan merupakan dosen tetap di Program Studi Penerbitan, Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta dan dosen part-time di Sekolah Vokasi Universitas Indonesia Depok. Ia menyelesaikan S2 bidang Publishing Media dari Oxford Brookes University UK tahun 2020 dan S1 bidang Ilmu Filsafat dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pada tahun 2014, ia berkesempatan mendapatkan beasiswa untuk belajar “Translation Copyright Transanction” di Jakarta dan Frankfurt Jerman dari Goethe Institut Indonesia.
BEBERAPA tahun terakhir, dunia perguruan tinggi Indonesia disibukkan dengan pengejaran akreditasi internasional dan “lomba lari” rangking global. Pencapaian akreditasi internasional dijadikan bagian dari kontrak rektor/direktur perguruan tinggi (terutama di perguruan tinggi negeri/PTN) dengan Mendikbuddiktiristek saat pelantikan.
Rangking global adalah bagian branding strategis Indonesia untuk masuk jajaran negara pemilik top universities dunia. Pimpinan perguruan tinggi menyediakan dana miliaran rupiah untuk bisa mendapatkan status akreditasi internasional.
Beberapa universitas dan institut terbaik di Indonesia diberikan dana insentif khusus untuk bisa bersaing dalam perebutan tempat pada perangkingan kampus global. Indonesia masih ketinggalan jauh dari Malaysia dan negara-negara anggota G-20 terkait hal itu.
Baca juga: 5 Prodi FPIK Unpad Raih Akreditasi Internasional ASIIN
Sejak akhir 2021 hingga detik ini, saya menjalani peran sebagai koordinator akreditasi internasional di kampus tempat saya bekerja. Perjalanan yang dimulai dari nol karena memang kampus saya sekarang belum pernah mengikuti proses akreditasi internasional.
Di awal-awal, banyak keraguan yang menyelimuti. Banyak kolega yang berpikir bahwa untuk mengikuti proses akreditasi internasional, sebuah kampus harus memiliki kelas internasional dan mahasiswa asing.
Banyak juga yang mengira untuk maju ke proses akreditasi internasional, prodi (program studi) yang ingin dinominasikan harus terakreditasi A atau Unggul dari BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi) atau LAM-PT (Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi).
Setelah berbagai workshop dan pertemuan, perlahan kabut terkait akreditasi internasional itu terbuka. Hal yang paling penting adalah mencari agency akreditasi internasional yang diakui Dikti. Jumlahnya ada 20 lembaga sebagaimana tertuang dalam Kepmendikbud Nomor 83/P/2020 tentang Lembaga Akreditasi Internasional.
Korban dari Kepmendikbud ini lumayan banyak. Di awal-awal pencarian mitra, tim kami menjalin kontak dengan ASIC yang berbasis di United Kingdom (UK) atau Britania Raya. Namun nama ASIC tidak tercantum dalam lembaga akreditasi internasional yang diakui Dikti.
Politeknik Negeri Malang (Polinema), Politeknik Bandung (Polban), dan beberapa kampus lainnya yang sudah mendapatkan status akreditasi dari lembaga itu untuk beberapa program studi mereka kemudian harus gigit jari karena status akreditasi internasionalnya tidak diakui Kemendikbuddiktiristek.
Bayangkan, untuk berproses menjalani akreditasi internasional membutuhkan biaya Rp 1-3 miliar. Biaya itu semakin membengkak dengan tambahan biaya perbaikan, fasilitas, dan infrastruktur penunjang akreditasi. Berapa banyak uang yang “hilang” jika salah dalam memilih lembaga akreditasi internasional.
Tipologi lembaga akreditasi internasional itu ada dua. Pertama, lembaga akreditasi yang mensyaratkan adanya pengimplementasian kurikulum internasional tertentu pada sebuah prodi yang akan diakreditasi. Ini merupakan konsep akreditasi internasional yang ideal.
Pada jenis ini, sebelum dinilai oleh panel, prodi tersebut sudah menerapkan pembelajaran standar internasional. Untuk tipe ini, prosesnya memakan waktu 3-5 tahun. Karena yang akan diukur adalah penerapan kurikulum dan standar internasional itu.
Kelebihan tipe ini antara lain, para lulusannya bisa bekerja di berbagai negara karena memang kurikulumnya sudah dibuat sebaik mungkin sesuai dengan standar-standar asosiasi profesional dunia. Dosen-dosennya pun tentu sudah beradaptasi dengan pemakaian kurikulum standar internasional.
Kedua, lembaga akreditasi internasional yang hanya menilai proses yang selama ini sudah berjalan di sebuah prodi/kampus. Apakah sudah memenuhi standar-standar higher education yang secara umum diterapkan di berbagai negara.
Pola kedua ini lebih mengukur pada sisi manajerial, kurikulum, sirkulasi mahasiswa, dan kepuasan mereka terhadap proses pembelajaran, performa dosen dan bagaimana mereka mendapatkan kesempatan untuk pengembangan diri.
Baca juga: 4 Prodi FMIPA UI Raih Akreditasi Internasional dari ASIIN Jerman
Jika ada masalah yang dihadapi, panel akreditasi akan melihat sejauh mana perbaikan dan respon yang dilakukan pemegang kebijakan di kampus untuk menanggulangi masalah tersebut.
Biasanya untuk tipe kedua ini tidak mewajibkan adanya mahasiswa asing dan kelas internasional (kelas dengan bahasa pengantar Bahasa Inggris).
Di Inggris Raya sendiri tidak begitu populer proses akreditasi. Yang dilakukan dalam penjaminan mutu sebuah kampus adalah evaluasi baik yang dilakukan oleh internal maupun eksternal. Kampus-kampus di Inggris Raya termasuk juga di banyak negara di Eropa Barat dan Amerika Utara sepertinya tidak begitu membutuhkan status/label “terakreditasi internasional”.
Hal itu karena kampus-kampus di Eropa dan Amerika Utara sudah dengan sendirinya mendapatkan predikat dan label internasional melalui kualitas dan nama yang mereka miliki.
Akreditasi internasional adalah sebuah cara yang dilakukan kampus-kampus di luar wilayah episentrum keilmuan (baca Barat) agar kemudian dilirik dan mendapatkan pengakuan reputasi internasional sehingga memudahkan mereka melakukan mobilitas ke berbagai negara, baik dosennya maupun mahasiswa untuk pekerjaan riset, exchange student, dan jalinan kerja sama.
Itu yang terjadi pada Indonesia yang masih berjuang menyakinkan dunia bahwa kita memiliki standar keilmuan dan pola pendidikan tinggi yang sudah bertaraf internasional. Akreditasi internasional bisa menjadi pintu masuk bagi kampus-kampus di Indonesia untuk bisa bertransformasi lebih cepat dan memberanikan diri untuk dinilai oleh orang luar.
Meskipun metriks yang diterapkan oleh BAN-PT atau LAM-PT lebih rumit dibandingkan sebagian lembaga akreditasi internasional, namun masih ada celah yang bisa dimainkan oleh pimpinan perguruan tinggi untuk mendapatkan nilai akreditasi maksimal atau mengatrol nilai “murni” yang sebenarnya rendah.
Sementara, aspek yang sangat ditekankan oleh lembaga akreditasi internasional adalah keterbukaan dan objektivitas yang tentu akan menutup pintu-pintu deal-deal permainan uang di belakang.
Dari sisi ini sebenarnya secara mentalitas ada sebuah perubahan radikal yang hendak ditanamkan. Bahwa hasil obyektif tidak bisa lagi dinaikkan hanya dengan pemberian hadiah dan uang. Kultur ini menjadi sangat penting bagi perbaikan birokrasi dan mentalitas stakeholders perguruan tinggi di Indonesia.
Keberanian untuk dinilai oleh orang luar akan membuat kita harus membuka diri dan terus melakukan perbaikan diri. Kecenderungan untuk mendiamkan masalah berlarut-larut tanpa ada aksi adalah penyakit akut yang menjangkiti berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Ketika mereka “ditampar” oleh orang luar karena praktik-praktik tidak sehat yang mereka lakukan selama ini, maka itu akan memberikan efek perubahan yang signifikan untuk perbaikan sebuah kampus.
Poin penting lainnya dari akreditasi internasional ini adalah public trust. Masyarakat bisa menilai keterbukaan dan kualitas sebuah kampus. Karena memang aspek yang mendapatkan penilaian tinggi adalah sejauh mana sebuah kampus memberikan informasi yang jujur kepada publik tanpa menutupi sisi-sisi gelap yang seringkali diakali bagaimana agar tidak diketahui publik karena takut akan merusak citra kampus.
Dengan adanya akreditasi internasional dan kesediaan dinilai orang luar diharapkan sebuah kampus mulai memperbaiki manajemennya, meningkatkan penghargaan mereka kepada pendidik, memberikan prioritas aspek pelayanan kepada mahasiswa, peningkatan kualitas pengajaran, perbaikan kurikulum agar mampu menghasilkan lulusan yang bersaing secara global dan tentu saja perbaikan kualitas fasilitas.
Sejauh ini penghargaan yang diberikan Dikti kepada kampus atau prodi yang telah mendapatkan status akreditasi internasional baru pada level konversi akreditasi nasional prodi tersebut menjadi unggul. Padahal, Dikti seharusnya bergerak lebih jauh lagi yakni pemberian insentif kinerja kepada dosen-dosen yang prodinya telah terakreditssi internasional sehingga mereka semakin bersemangat untuk meningkatkan kualitas diri dan pengajaran kepada mahasiswa.
Selain itu, apresiasi bisa dilakukan melalui pemberian hibah penambahan fasilitas dan perbaikan infrastruktur. Sehingga ketika banyak mahasiswa yang tertarik kuliah di kampus tersebut, mereka tidak kecewa dengan fasilitas yang ada dan merasakan suasana lingkungan yang mendekati kampus-kampus di luar negeri.
Tetapi memang, status akreditasi masih belum populer dijadikan masyarakat dan calon mahasiswa untuk menambatkan hati kepada sebuah kampus. Yang menjadi acuan untuk hal ini masih pada rangking. Di level internasional paling tidak ada tiga lembaga perangkingan yang sering dijadikan rujukan, yaitu THE, QS, dan Webometrics.
Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dalam menentukan daftar kampus tujuan luar negeri merujuk kepada QS.
Kampus-kampus di Indonesia ketika membranding dirinya sebagai salah satu kampus terbaik level nasional seringkali menyandarkan diri kepada rilis rangking yang dikeluarkan oleh tiga lembaga tersebut.
Baca juga: 18 Perguruan Tinggi Terbaik Indonesia Versi THE Impact Rangking 2021
Para akademisi yang pro akreditasi atau evaluasi sebagai cara terbaik untuk penjaminan mutu pendidikan tinggi biasanya tidak begitu suka dengan sistem perangkingan yang begitu populer belakangan ini. Hal tersebut disebabkan perangkingan lebih banyak menyandarkan pada riset dan citasi publikasi serta persepsi publik terutama sekali workingplace/dunia usaha dalam parameter penilaiannya.
Tentu saja ini akan sangat menguntungkan bagi perguruan-perguruan tinggi yang berbasis riset (research universities) dan mendapatkan dana riset yang besar baik dari pemerintah maupun dari industri. Termasuk juga akan menguntungkan bagi kampus-kampus yang sudah kadung memiliki nama besar karena sejarah panjangnya dan popularitas yang sudah masuk dalam alam bawah sadar publik.
Di sisi lain, ada kampus-kampus yang memiliki karakteristik yang berbeda seperti applied/vocational universities dan teaching institutions. Untuk yang applied/vocational, mereka lebih mementingkan proses pengajaran dan riset yang mengacu pada penerapan dan aplikasinya bagi dunia industri.
Jadi yang dipentingkan adalah bagaimana lulusan yang dihasilkan bisa matching dengan kebutuhan lapangan kerja. Atau bagaimana riset-riset yang dilakukan bermanfaat bagi peningkatan inovasi industri.
Teaching universities memiliki kekuatan dari sisi pengajaran. Yang ditekankan adalah mahasiswa bisa menguasai penuh ilmu-ilmu yang diajarkan sehingga mendapatkan pemahaman yang mendalam. Yang diprioritaskan yaitu penguasaan konsep-konsep keilmuan.
Kedua tipe kampus terakhir ini tidak begitu excellent dari segi riset dan publikasi artikel terindeks internasional. Karena memang fokus utamanya tidak ke sana. Tapi keunggulan mereka di bidang aplikasi/vokasi dan pengajaran belum begitu mendapat tempat dalam sistem perangkingan kampus yang ada saat ini.
Melihat akreditasi internasional dan rangking global bagi pendidikan tinggi tidak bisa sepotong-sepotong. Ketika pimpinan kampus melihat akreditasi internasional hanya sekedar pemenuhan IKU (Indeks Kinerja Utama) sebuah perguruan tinggi tanpa diarahkan sebagai pintu masuk pada perubahan radikal perguruan tinggi, maka hanya status dan beban biaya tinggi saja yang akan didapatkan.
Ketika pemerintah mengelontorkan subsidi besar-besaran kepada kampus-kampus tertentu di Indonesia untuk berlomba-lomba dalam pacu lari rangking kampus dunia, tanpa memberikan klasifikasi tipologi kampus yang jelas pada 4000-an perguruan tinggi yang eksis di Indonesia, maka itu malah membuat arah dan target pendidikan tinggi kita menjadi kabur dan memaksa applied/vocational dan teaching universities berlari mengejar yang seharusnya tidak menjadi prioritas mereka.

Copyright 2008 – 2023 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

source

PuTI

https://it.telkomuniversity.ac.id

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button